Sunday 3 January 2016

SYARIAT

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Pendidikan
Dosen: Drs. Moehadi, M.Pd


Kelompok 8 :
Rulli Agustiyani                      12144600081
Nurhayati                                12144600084
Nining Purwaningsih              12144600104


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI YOGYAKARTA
2012
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan  rahmat dan karunia-Nya sehingga kami masih diberi kesempatan untuk bekerja bersama untuk menyelesaikan makalah ini. Makalah ini merupakan salah satu  tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing dan teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari teman-teman. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dikemudian hari.

                                                                                    Yogyakarta,    November 2012

                                                                                                         Penulis       










BAB I
PENDAHULUAN


Kehidupan manusia di dunia merupakan anugerah dari Allah SWT. Dengan segala pemberian-Nya manusia dapat mengecap segala kenikmatan yang bisa dirasakan oleh dirinya. Tapi dengan anugerah tersebut kadangkala manusia lupa akan dzat Allah SWT yang telah memberikannya. Untuk itu manusia harus mendapatkan suatu bimbingan sehingga di dalam kehidupannya dapat berbuat sesuai dengan bimbingan Allah SWT. Selain akidah (pegangan hidup), akhlak (sikap hidup), syariat (jalan hidup) adalah salah satu bagian agama Islam. Sebagai jaln hidup, syariah merupakan the way of life  umat Islam. Hidup manusia yang dibimbing dengan syariah akan melahirkan kesadaran untuk berperilaku yang sesuai dengan tuntutan dan tuntunan Allah dan Rasul-Nya yang tergambar dalam hukum Allah yang Normatif dan Deskriptif (Quraniyah dan Kauniyah).
            Sebagian dari syariat terdapat aturan tentang ibadah, baik ibadah khusus maupun ibadah umum. Sumber syariat adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah, sedangkan hal-hal yang belum diatur secara pasti di dalam kedua sumber tersebut digunakan ra’yu (Ijtihad). Syariat dapat dilaksanakan apabila pada diri seseorang telah tertanam Aqidah atau keimanan. Semoga dengan bimbingan syariah hidup kita akan selamat dunia dan akhirat.








BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Syariat dan Fiqh
Syariah/syariat  dalam bahasa Arab berasal dari kata syari’, secara harfiah berarti jalan yang harus dilalui oleh setiap muslim. Syariat ditetapkan Allah menjadi patokan hidup setiap muslim.  Mahmud Syaltout dalam bukunya Al-Islam Aqidah wa Syariah memberikan definisi syariah sebagai peraturan yang diturunkan oleh Allah kepada manusia agar dipedomani dalam berhubungan dengan Tuhannya, dengan sesamanya, dengan lingkungannya, dan dalam kehidupannya. Sedangkan menurut Muhammad Idris as Syafi’i (Iman Syafi’i) dalam kitab ar Risallah, syariat adalah peraturan-peraturan yang lahir yang bersumber dari wahyu dan kesimpulan-kesimpulan yang berasal dari wahyu itu mengenai tingkah laku manusia. Dalam rumusan Imam Syafi’i ini ada dua yaitu:
1.      Peraturan yang bersumber pada wahyu (syariah)
2.      Kesimpulan yang bersumber dari wahyu itu (fiqh)
Meskipun tafsir kata syariat di atas berbeda-beda, namun mempunyai persamaan dari segi maksudnya. Ibnu Abbas r.a. menafsirkannya dengan petunjuk yang jelas. Qatadah menafsirkannya dengan ketentuan-ketentuan, batasan-batasan, perintah dan larangan. Ibnu Zaid menafsirkannya dengan din (agama). (Ath Thabari, Jami’ Al Bayan, (Kairo : Dar Al Ma’arif, 1954), cet. ke II, XXII hal. 146-147). Fakhrurrazi menafsirkannya dalam bentuk definisi yaitu :“Apa-apa yang ditetapkan Allah SWT atas para mukallaf (orang yang wajib melaksanakan hukum Allah Ta’ala) supaya mereka ikuti.”( Fakhrurrazi, At Tafsir Al Kabir, (Teheran : Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah), cet. ke II, hal. 12). Keterangan-keterangan tersebut di atas tidak bertentangan, tetapi pengertian syariat yang dikemukakan Fakhrurrazi lebih jelas dan telah dirumuskan dalam bentuk definisi. At -Thahanawi juga mengemukakan definisi yang sama, yaitu : “Syari’at ialah hukum-hukum yang disyari’atkan Allah Ta’ala untuk hamba-hamba-Nya yang disampaikan oleh salah seorang nabi dari nabi-nabi (sallallahu ‘alaihim dan sallallahu ‘ala nabiyyina wa sallam), baik hukum-hukum tersebut mengenai amal perbuatan ………… maupun mengenai akidah.”. (Dr. Muh. Yusuf Musa, Al Fiqh Al Islami, (Kairo : Dar Al Kutub Al Haditsah, 1954), hal 8)
Pengertian atau definisi syariat di atas adalah umum. Ia bukan saja pengertian syariat yang diberikan Allah Ta’ala kepada Rasul-Nya Muhammad saw., tetapi bahkan pengertian semua syariat yang diberikan Allah Ta’ala kepada para rasul sebelum Muhammad saw. Dalam prakteknya makna syariat selalu disamakan dengan fiqh, yaitu sebagai ketetapan Allah baik berupa larangan maupun perintah, syariat mengatur jalan hidup dan kehidupan manusia. Dari segi hukum, syariat adalah norma hukum dasar yang diwahyukan Allah, yang wajib diikuti oleh orang Islam, baik dalam berhubungan dengan Allah maupun dalam berhubungan dengan sesama manusia dan masyarakat. Karena itu, syariat terdapat di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist sehingga umat Islam tidak pernah akan keliru atau sesat dalam perjalanan hidupnya selama mereka berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sedangkan kata fiqh (fikih dalam bahasa Indonesia) secara etimologi artinya paham, pegertian, dan pengetahuan. Fiqh secara tertimologi adalah hukum syara’ yang bersifat praktis (amaliah) yang diperoleh dari dalil-dalil terperinci. Kalau fiqh dihubungkan dengan perkataan ilmu sehingga menjadi ilmu fiqh. Ilmu fiqh adalah ilmu yang bertugas menentukan dan menguraikan norma dasar dan ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad saw. Yang direkam di dalam kitab-kitab hadis. Dengan kata lain, ilmu fiqh adalah ilmu yang berusaha memahami hukum-hukum dasar yang terdapat dalam Al-Quran dan kitab-kitab Hadist. Pemahaman itu dituangkan ke dalam kitab-kitab fiqh dan disebut hukum fiqh. Contoh kitab hukum fiqh dalam bahasa Indonesia adalah Fiqh Islam karya H. Sulaiman Rasjid yang sejak diterbitkan pertama kali (1954) sampai kini (1997) telah dicetak ulang puluhan kali. Beberapa kitab hukum mahzab Syafi’i juga telah diterjemahkan ke dalam bahsa Indonesia, di antaraya adalah karya Mohammad Idris as-Syafi’i sendiri bernama: al-Umm artinya (kitab) induk. 
Dari pengertian di atas menunjukkan bahwa antara syariah dengan fiqh mempunyai hubungan yang sangat erat, yaitu dapat dibedakan tetapi tidak dapat di ceraipisahkan. Kedua istilah dimaksud, yaitu (1) syariat Islam dan (2) fiqh Islam. Di dalam kepustakaan Islam berbahasa Inggris, syariat Islam diterjemahkan dengan istilah Islamic Law, sedangkan fiqh islam diterjemahkan dengan Islamic Jurisprudence. Jadi, syariat adalah landasan fiqh, fiqh adalah pemahaman tentang syariat. Kedua istilah itu terdapat di dalam Al-Quran; syariat, misalnya, dalam surat Al-Jatsiyah (45): 18
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الأمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ                                                                                               yang artinya: “Kemudian yang Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”,
 Dan fiqh dalam surat At-Taubah (9): 122
وَلا يُنْفِقُونَ نَفَقَةً صَغِيرَةً وَلا كَبِيرَةً وَلا يَقْطَعُونَ وَادِيًا إِلا كُتِبَ لَهُمْ لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ                                                          
                                                أَحْسَنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
yang artinya: “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya. Supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.
 Namun demikian antara syariat dan fiqh, terdapat perbedaan, yang apabila tidak dipahami dapat menimbulkan sikap salah kaprah terhadap fiqh. Fiqh diidentikkan dengan syariat. Untuk lebih jelasnya akan dikemukakan perbedaannya berikut ini.
·         Syariah diturunkan oleh Allah yang terdapat dalam Al-Quran dan Al-Hadits, kebenarannya bersifat mutlak, sementara fiqh adalah hasil fikiran fuqaha yang memenuhi syarat tentang syariat dan kebenarannya bersifat relatif.
·         Syariah adalah satu dan fiqh beragam, seperti adanya aliran-aliran hukum yang di sebut dengan istilah mahzab-mahzab.
·         Syariah adalah ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, karena itu berlaku abadi, bersifat tetap atau tidak berubah, sedangkan fiqh adalah karya manusia yang dapat mengalami perubahan seiring dengan tuntutan ruang dan waktu,dari masa ke masa.
·         Syariah bersifat fundamental, memiliki ruang lingkupnya yang lebih luas, oleh banyak ahli dimasukkan juga akidah dan akhlak, sedangkan fiqh bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia yang biasanya disebut perbuatan hukum. Seperti yang dikemukakan diatas, bahwa hukum Islam adalah terjemahan dari Al-Fiqh Al-Islamy atau As-Syariah Islamy.
·         Syariah menunjukkan kesatuan dalam Islam, sedangkan fiqh menunjukkan keragamannya (Asaf A.A. Fyzee, 1955: 17, H.M Rasjidi, 1958: 403, Ahmad Ibrahim, 1965: 2, M. Khalid Masud, 1971: 22, S.H. Nasr, 1981: 60)
Untuk lebih menjelaskan perbedaan syariat dengan fiqh sekaligus pula menunjukkan keeratan hubungannya, berikut ini dikemukakan beberapa contoh.
Misalnya, Rahman meminjam barang kepada Budi. Sewaktu barang ditangan Rahman, barang pinjaman tersebut hilang. Mengenai hal ini di dalam Al-Quran surat Al-Baqoroh (2); 283
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ
                                                   آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
ada ketentuan hukum atau kaidah yang intinya berbunyi sebagai berikut “... jika seseorang dipercayai oleh orang lain, hendaklah ia menunaikan amanat yang diberikan kepadanya itu .....”
Di dalam ayat ini disebutkan bahwa orang yang diberi amanat harus menunaikan amanat itu sebaik-baiknya. Artinya, kalau ia diberi titipan ia harus mengembalikan titipan itu dan kalau ia memperoleh pinjaman (karena orang lain percaya kepadanya) haruslah ia mengembalikan pinjaman itu. Akan tetapi kalau barang itu hilang, atau Rahman tidak mengembalikan pinjaman itu, ketentuannya tidak disebutkan dalam ayat tersebut. Karena itu timbullah masalah fiqh yaitu masalah pemahaman ketentuan syariat. Orang yang memenuhi syarat lalu berijtihad mengenai ganti-rugi barang dimaksud. Timbullah berbagai pendapat. Menurut pendapat mahzab Hanafi, Rahman harus mennganti kerugian yang diderita Budi sejumlah harga ketika barang itu dibeli oleh Budi. Menurut mahzab Hambali, Rahman mengganti kerugian Budi sebesar harga barang itu ketika hilang ditangannya. Mahzab Syafi’i berpendapat lain, yakni Rahman harus membayar kerugian pada Budi menurut harga tertinggi  yang terjadi antara barang itu dibeli dan dihilangkan  oleh Rahman. (Hasbullah Bakry, 1982: 3).
Dari contoh di atas jelas bahwa pendapat sebagai hasil pemahaman manusia, mungkin berbeda-beda. Dan inilah yang disebut dengan fiqh. Ketentuan hukum yang dirumuskan oleh para mujtahid (orang yang berijtihad), seperti telah berulang disebutkan di atas, disebut hukum fiqh. Dari kaidah ini dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum fiqh cebderung relatif, tidak absolut seperti hukum syariat yang menjadi norma dasar hukum fiqh. Sifatnya  zanni  yakni sementara belum dapat dibuktikan. Sifat ini terdapat pada hasil karya manusia dalam bidang apapun. Sedangkan syariat bersifat absolut atau disebut dengan istilah qath’i (pasti) tidak berubah-ubah.
Selain sifat tersebut di atas, dikemukakan pula bahwa hukum fiqh tidak dapat menghapuskan hukum syariat. Ambillah misal, soal perceraian. Hukum syariat memperbolehkan perceraian. Para ahli hukum Islam tidak boleh membuat ketentuan hukum fiqh yang melarang perceraian. Demikian juga halnya dengan ketentuan mengenai hak yang sama antara pria dan wanita untuk menjadi ahli waris. Hukum syariat menentuakan bahwa pria dan wanita sama-sama menjadi ahli waris. Hukum fiqh tidak boleh merumuskan ketentuan yang menyatakan, misalnya, wanita tidak berhak menjadi ahli waris seperti keadaan dalam masyarakat Arab sebelum Islam (Ahmad A. Basyir, 1982: 1).
B.   SYARIAH DAN FIQH SERTA KEABADIAN SYARIAH ISLAM
          Hukum Islam, baik dalam pengertian syariat maupun dalam pengertian fiqh di bagi dalam dua bidang.
a.       Ibadah, menurut bahasa, artinya taat, tunduk, turut, ikut, dan doa. Ibadah dalam makna taat atau mentaati (perintah) diungkapkan Allah dalam Al-Quran surat Yaasiin (36): 60
أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
            yang terjemahan artinya sebagai berikut, “Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kamu hai bani Adam supaya kamu tidak menyembah setan, (karena) sesungguhnya setan itu adalah musuhmu yang nyata”.
      Ibadah itu sendiri terbagi atas:
                         i.          Rukun Islam: mengucapkan syahadatain, mengerjakan sholat, mengeluarkan zakat, melaksanakan puasa di bulan Ramadhan, dan menunaikan haji bila mempunyai kemampuan (mampu fisik dan nonfisik).
                       ii.           Ibadah yang berhubungan rukun Islam dan ibadah lainnya, yaitu bersifat Badani (bersifat fisik), yaitu bersuci: wudu, mandi, tayamum, peraturan untuk menghilangkan najis, peraturan air, istinja, dan lain-lain, azan, iqamat, i’tikaf, doa, dan lain-lain. Dan bersifat Mali (bersifat harta): zakat, infak, shadaqah, qurban, aqiqah, fidyah,dan lain-lain.
Dalam hubungan ini perlu dipahami bahwa hakikat ibadah adalah menumbuhkan kesadaran pada diri manusia bahwa ia sebagai insan diciptakan Allah khusus untuk mengabdi kepada-Nya. Hal ini dijelaskan dalam surat Adz-Zariyaat (51): 56
                               وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُون
“Dan, Aku tidak menciptakan  jin dan manusia kecuali untk beribadah kepada-Ku”.
Ketentuan hukum ibadah ini, semula diatur secara global (mujmal) dalam Al-Quran, kemudian dijelaskan oleh Sunnah Rasul—berupa ucapan, perbuatan atau penetapannya—dan diformulasikan oleh para fuqaha (ahli hukum) ke dalam kitab-kitab fiqh. Pada prinsipnya dalam masalah ibadah, kaum muslimin menerimanya sebagai ta’abbudyy , artinya diterima dan dilaksankan dengan sepenuh hati, tanpa terlebih dahulu merasionalisasikannya. Hal ini karena arti ibadah sendiri menghambakan diri kepada Allah, Zat yang berhak disembah. Dan manusia tidak memiliki kemampuan untuk menangkap secara pasti alasan (‘illat) dan hikmah apa yang terdapat di dalam perintah ibadah tersebut. Dari uraian di atas, jelas bahwa ibadah adalah sari ajaran Islam berupa pengabdian atau penyerahan diri kepada Allah (Ensiklopedi Islam, 1993, jilid 2, halaman 143-144).
b.      Muamalat, mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya, seperti perikatan, sanksi hukum dan aturan lain, agar terwujud ketertiban dan keadilan, baik secara perorangan maupun kemasyarakatan. Muamalat ini dipilih sesuai dengan aspek dan tujuan masing-masing. Abdul Wahab Khalaf, op.cit., halaman 32-33 merinci sebagai berikut
                         i.          hukum kekeluargaan (ahwal al-syakhsiah) yaitu hukum yang berkaitan dengan urusan keluarga dan pembentukannya yang bertujuan mengatur hubungan suami isteri dan keluarga satu dengan yang lainnya.
                       ii.          Hukum Sipil (civics/al-ahkam al-madaniyah) yang mengatur hubungan individu-individu serta bentuk-bentuk hubungannya seperti: jual beli, sewa-menyewa, utang piutang, dan lain-lain, agar tercipta hubungan yang harmoni di dalam masyarakat.
                     iii.          Hukum Pidana (al-ahkam al-jinaiyah) yaitu hukum yang mengatur tentang bentuk kejahatan atau pelanggaran dan ketentuan sanksi hukumannya. Tujuannya untuk memelihara kehidupan manusia, harta, kehormatan, hak serta membatasi hubungan pelaku perbuatan pidana dan masyarakat.
                     iv.          Hukum Acara (al-ahkam al-murafaat) yaitu hukum yang mengatur tata cara mempertahankan hak, dan atau memutuskan siapa yang terbukti bersalah sesuai dengan ketentuan hukum. Hukum ini mengatur cara beracara di lembaga peradilan, tujuannya untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat.
                       v.          Hukum Ketatanegaraan (al-ahkam al-dusturiyah) berkenaan dengan sistem hukum yang bertujuan mengatur hubungan antara penguasa (pemerintah) dengan yang dikuasai atau rakyatnya, hak-hak dan kewajiban individu dan masyarakat.
                     vi.          Hukum Internasional  (al-ahkam al=duwaliyah) mengatur hubungan antar negara Islam dengan negara lainnya dan hubungan warga muslim dengan nonmuslim, baik dalam masa damai atau masa perang.
                   vii.          Hukum Ekonomi (al=ahkam al-iqtisadiyah wa al-maliyah). Hukum ini mengatur hak-hak seorang pekerja dan orang yang memperkerjakannya, dan mengatur sumber keuangan negara dan pendistribusiannya bagi kepentingan kesejahteraan rakyatnya.




BAB III
KESIMPULAN

·        Syari’at ialah hukum-hukum yang disyari’atkan Allah Ta’ala untuk hamba-hamba-Nya yang disampaikan oleh salah seorang nabi dari nabi-nabi (sallallahu ‘alaihim dan sallallahu ‘ala nabiyyina wa sallam), baik hukum-hukum tersebut mengenai amal perbuatan maupun mengenai akidah.
·        Syari’at berbeda dengan fikih. Syari’at adalah norma hukum dasar yang diwahyukan Allah, yang wajib diikuti oleh orang Islam, baik dalam berhubungan dengan Allah maupun dalam berhubungan dengan sesama manusia dan masyarakat, sedangkan fikih artinya paham, pegertian, dan pengetahuan.
·        Syari’at terbagi menjadi dua, yaitu : ibadah dan muamalat
·        Ibadah artinya taat, tunduk, turut, ikut, dan doa. Terdiri dari; rukun islam dan Ibadah yang berhubungan dengan rukun Islam dan ibadah lainnya, yaitu bersifat Badani (bersifat fisik), yaitu bersuci.Dan bersifat Mali (bersifat harta).
·        Muamalat yaitu mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya. Terdiri dari hukum kekeluargaan (ahwal al-syakhsiah), Hukum Sipil (civics/al-ahkam al-madaniyah), Hukum Pidana (al-ahkam al-jinaiyah), Hukum Acara (al-ahkam al-murafaat), Hukum Internasional  (al-ahkam al=duwaliyah), Hukum Ketatanegaraan (al-ahkam al-dusturiyah).







BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

 Ali, Mohammad Daud. 1988. Pendidikan Agama Islam. Cetakan Ketiga. Jakarta: Rajawali Press.
Ali, Zainuddin. 2006. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Rofiq, Ahmad. 1998. Hukum Islam di Indonesia. Cetakan Ketiga. Jakarta: Rajawali Press
http://opi.110mb.com/ Hadits Web: Kumpulan & Referensi Belajar Hadits/ Kamis, 01 Muharram 1434 H. Sa’ah ‘alaa 10.23 WIB
http://Pengertian Syariat dan Fiqh/ Jum’at, 09 November 2012: 08.46 WIB

http://Syariah-Islam/Sabtu, 10 November 2012, 09.14 WIB

No comments: